Laporkan Masalah

Kontestasi Primordialisme Dalam Positioning Pada Struktur Birokrasi Pemerintah Kabupaten Manokwari

IIN INDAH WIJAYANI KUBANGUN, Dr. Agus Heruanto Hadna, M.Si.

2014 | Tesis | S2 Manajemen dan Kebijakan Publik

Pemberlakuan kebijakan keberpihakan khusus (affirmative action policy) yang tertuang dalam Undang-undang No. 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua, merupakan tindakan untuk mengatasi ketidaksetaraan Orang Asli Papua dengan penduduk lainnya di Indonesia melalui keikutsertaannya dalam semua aspek pembangunan, termasuk dalam penyelenggaraan pemerintahan. Demi mewujudkan birokrasi yang ideal dan responsif, selain ada kebijakan afirmasi, perlu adanya unsur keterwakilan atau disebut juga birokrasi representatif (representative bureaucracy) dengan menghendaki adanya keterwakilan dari pluralitas masyarakat demi mencapai kesetaraan dan keadilan. Kendati demikian, pemberlakuan UU No. 21/2001 kemudian mengkotak-kotakkan dan memperuncing ikatan primordial diantara Orang Asli Papua baik pada tingkat suku, hingga ke tingkat marga/klan. Tesis ini menganalisis kontestasi diantara orang asli Papua dalam struktur birokrasi berdasarkan ikatan primordial sebagai fenomena yang semakin menguat akibat lahirnya Otonomi Khusus di Papua dengan berusaha mengungkap bagaimana kontestasi primordialisme dalam positioning pada struktur birokrasi Pemerintah Kabupaten Manokwari. Tesis ini menggunakan metode penelitian kualitatif dengan pendekatan Grounded Theory, dan menggunakan metode Grounded Researchyang berupaya mengkonstruksikan teori ataupun konsep dasar berdasarkan data di lapangan. Hasil penelitian menyimpulkan bahwa dalam penentuan positioning pejabat struktural pada birokrasi di Pemerintah Kabupaten Manokwari relatif sesuai dengan peraturan perundangan yang berlaku, walau terindikasi adanya kebijakan “khusus” yang dikeluarkan oleh Bupati untuk memposisikan pejabat berdasarkan ikatan primordial pada beberapa pejabat pimpinan SKPD. Hal ini jika dilihat dari kebijakan afirmasi dan keterwakilan dalam birokrasi yang termuat dalam UU Otsus demi mengedepankan Orang Asli Papua maka dapat dikatakan berhasil. Namun, yang menjadi permasalahan adalah dalam penempatan tersebut bukan Orang Asli Papua pada umumnya, tapi penempatan yang mengarah kepada kesukuan. Adapun dampak yang timbul berupa lahirnya pemekaran Daerah Otonom Baru (DOB) yang berorientasi kesukuan, munculnya berbagai tuntutan masyarakat yang berbuntut pada aksi pemalangan yang berekses pada anggaran publik serta pelayanan publik, hingga kasus korupsi. Sementara latar belakang timbulnya fenomena kontestasi primordial, antara lain: pertama, alasan antropologis. Kedua, memoria passionisatau ingatan kelam akan kekerasan Negara terhadap Orang Asli Papua. Ketiga,kehadiran Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua dan Papua Barat. Keempat,adanya politik aras lokal yang menggunakan keterikatan dan kepatuhan “Anak Adat” dengan sukunya. Adapun yang dapat disarankan dari hasil penelitian ini dengan “Mengawinkan” prinsip Merit Systemdengan Spoiled System, mengingat kebijakan afirmasi mengandung tindakan-tindakan spoiled. Namun, dilain pihak, Papua perlu juga menerapkan prinsip Merit Systemdemi menghasilkan Orang Asli Papua yang berkompeten.

The implementation of affirmative action policy set out in Law No. 21 2001 on Special Autonomy for Papua Province is an action to address the inequality of Indigenous Papuan People with other residents in Indonesia through its participation in all development aspects including in governance. For realizing the ideal and responsive bureaucracy, in addition to the existing affirmative policies, it needs a bureaucratic representation element or also called representative bureaucracy with calling for representation of the society plurality in order to achieve equality and justice.Nevertheless, the application of Law no. 21/2001 and then to compartmentalize and exacerbate primordial ties among Indigenous Papuan People at the tribe level, up to the clan level. This thesis analyzes the contestation among indigenous Papuans in the bureaucratic structure based on primordial ties to uncover how the primordial contestation in positioning in the bureaucratic structure of Manokwari Regency Government. The thesis uses qualitative research methods by Grounded Theory approach, and applies the method of Grounded Research that seeks to construct a theory or basic concept based on the data in the field. The study result concludes that the positioning determination of the structural officials in the bureaucracy in Manokwari Regency Government relatively in accordance with applicable legislation, despite indications of the existence of a \\"special\\" policy issued by the Regent for positioning the officials based on primordial ties in some official leaders of local government working unit (SKPD). Being viewed from the representative and affirmative policies in the bureaucracy contained in the Special Autonomy Law for putting indegenous Papua people as priority, it can be said to be successful. However, the matter is not in the placement of the Papuan people in general, but the placement leads to the tribal reason. The impact arises from the forming of tribal-oriented New Autonomous Regions (DOB), the emerging of various society demands which culminated in the obstructed actions imposed on public budgets and public services, to cases of corruption. While the backgrounds of the emergence of the primordial contestation phenomena are: first, anthropological reasons; second, memoria passionis or dark memories on the violence of the government against Papuan people; third, the presence of Special Autonomy for Papua and West Papua provinces; fourth, the existence of local level politics that uses entanglement and compliance of \\"Indigenous Children\\" to their tribes. Suggestions from the results of this study is \\"marrying\\" Merit System principle to Spoiled System principle by regarding to the affirmative policy containing spoiled actions. On the other hand, Papua should also apply the principles of the Merit System in order to produce competent Papua natives.

Kata Kunci : Pemberlakuan kebijakan keberpihakan khusus (affirmative action policy) yang tertuang dalam Undang-undang No. 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua, merupakan tindakan untuk mengatasi ketidaksetaraan Orang Asli Papua dengan penduduk l


    Tidak tersedia file untuk ditampilkan ke publik.