Laporkan Masalah

ALIH KODE DALAM PENGAJARAN BAHASA INGGRIS DI SMA DI DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA

MARGANA, Prof. Dr. Soepomo Poedjosoedarmo,

2013 | Disertasi | S3 Linguistik

Penelitian ini mendeskripsikan (1) bentuk-bentuk kode yang digunakan dalam pengajaran bahasa Inggris di SMA, (2) arah, jenis, tataran dan kaidah yang mengatur AK, dan (3) alasan dan fungsi AK dalam pengajaran bahasa Inggris di SMA di Yogyakarta. Untuk mencapai tujuan tersebut, digunakan tiga tahapan strategis yang berurutan. Tahapan tersebut adalah (1) metode penyediaan data, (2) metode analisis data, dan (3) metode penyajian hasil analisis. Penyediaan data ini menggunakan teknik observasi yang dilanjutkan dengan teknik rekam. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis deskriptif kualitatif dengan menggunakan metode padan dan agih diikuti dengan teknik dasar dan teknik lanjutan. Subjek penelitian ini adalah 20 orang guru bahasa Inggris SMA di DIY. Data penelitian ini berupa tuturan yang dipercayai mengandung bentuk alih kode dari bahasa Inggris ke bahasa Indonesia atau sebaliknya. Konteks data berupa dialog yang dilakukan oleh guru bahasa Inggris SMA Sumber data penelitian ini adalah catatan hasil observasi dan transkrip rekaman dalam pengajaran bahasa Inggris di SMA di DIY. Hasil penelitian diperikan sebagai berikut. Pertama, terdapat tiga bahasa yang digunakan oleh guru bahasa Inggris SMA di DIY, yakni bahasa Inggris, bahasa Indonesia, dan bahasa Jawa. Kedua, AK yang dilakukan oleh guru bahasa Inggris dalam komunikasi di kelas memiliki pola arah dari bIng ke dalam bI atau dari bI ke dalam bIng. Ketiga, dilihat dari jenisnya, AK yang dilakukan oleh guru bahasa Inggris SMA di DIY dibedakan menjadi dua jenis, yakni (1) AK intersentensial dan (2) AK intrasentensial. Unsur kebahasaan yang disisipkan dalam AK intrasentensial mencakup tataran kata (nomina, verba, adjektiva, adverbia, preposisi, konjungsi, kata penentu kata benda, dan kata sapaan) dan tataran frasa (frasa nomina, frasa verba, faras adjektiva, dan frasa preposisi). Keempat, konfigurasi konstituen antara bahasa matriks dan bahasa sisip, bentuk nomina, verba, dan preposisi bI dan bIng memiliki tingkat fleksibilitas untuk saling dilekati dan dilekatkan. Kelima, AK dari bIng ke dalam bI atau sebaliknya yang dilakukan oleh guru bahasa Inggris SMA di DIY memiliki kaidah gramatika yang mencakup (1) kaidah urutan linier atau ekuvalensi, (2) tingkat unsur kebahasaan, (3) pembatasan lingkup morferm, (4) AK tidak hanya terbatas pada bentuk kata bebas tetapi juga bentuk kata terikat, (5) keterikatan unsur menerangkan dan unsur yang diterangkan, (6) kaidah dominasi bahasa, (7) kaidah Functional Head, dan (8) subkategorisasi. Masing-masing kaidah didukung oleh data yang diperoleh dari lapangan. Keenam, penggunaan AK dalam komunikasi di kelas dilatarbelakangi oleh berbagai alasan di antaranya adalah (1) kurangnya penguasaan bahasa Inggris yang dimiliki oleh peserta didik, (2) kurangnya pengguasaan bahasa Inggris dari pengalih kode, (3) belum adanya padanan leksikon yang tepat untuk merujuk suatu istilah tertentu, (4) kemandegan berbahasa, (5) bentuk bahasa yang dialihkan lebih memiliki kelengkapan fitur semantis, (6) keadaan emosional guru bahasa Inggris dan peserta didik, (7) kedekatan budaya dan bahasa yang digunakan, (8) kecapaian dalam berbahasa, dan (9) situasi kelas. Masing-masing alasan tersebut didukung oleh data yang memadai. Ketujuh, AK dari bIng ke dalam bI atau sebaliknya yang dilakukan oleh para guru bahasa Inggris dalam pengajaran bahasa Inggris di kelas memiliki berbagai fungsi yang dikategori menjadi tiga, yakni (1) fungsi penyampaian materi, (2) fungsi pengelolan kelas, dan (3) fungsi pemarkah wacana. Merujuk pada penemuan tersebut, AK dalam pengajaran bahasa Inggris di SMA di DIY bersifat unik dan tidak dilakukan secara sporadis. Oleh karena itu, guru bahasa Inggris dapat menggunakan AK sebagai salah satu strategi pengajaran bahasa Inggris mengingat kemampuan bahasa Inggris belum cukup memadahi untuk menggunakan bahasa Inggris secara eksklusif. Seiring dengan meningkatnya kemampuan bahasa Inggris yang dimiliki oleh peserta didik, secara perlahan, guru bahasa Inggris perlu mengurangi AK agar peserta didik memperoleh input bahasa Inggris secara maksimal dalam rangka membantu mereka dalam pemerolehan bahasa Inggris.

This research is aimed at describing code switching (abbreviated as CS) practices in the process of English language teaching at senior high schools focusing on (1) the use of codes by English teachers of senior high schools in Yogyakarta Special Province, (2) the directions of CS, the types, and forms of CS, and the rules underlying CS, and (3) reasons for CS practices and the functions of CS. To figure out the research focus, there are three serial research stages which include (1) data collection methods, (2) data analysis methods, and (3) result presentation methods. Two techniques: observations and audio-recordings were utilized. In analyzing data gathered from the fields, the descriptive qualitative methods with the use of the identity and distributional methods. The subjects of this research were 20 English teachers from 12 senior high schools in three regencies, namely Sleman, Bantul, and Yogyakarta. The data were in the forms of utterances that consist of CS from English to Indonesian or vice versa as practised by English teachers in classroom communications. Contexts of data were in the forms of dialogues conducted by English teachers. The source of data was classroom communications gathered through observation and audio-recording techniques. In reference to the data analyses, some findings are made. First, there are three codes which are employed by English teachers of senior high schools in three regencies. They are English, Indonesian, and Javanese. Second, CS from English to Indonesian or vice versa in classroom communications utilized by English teachers of senior high schools performs two patterns of directions, namely from English to Indonesian and Indonesian to English. Third, CS from English to Indonesian or vice versa in classroom communications utilized by English teachers of senior high schools can be divided into two types, namely (1) inter-sentential CS and (2) intrasentential CS. In terms of the forms of the lingual units in the intra-sentential CS, nouns, verbs, adjectives, adverbs, preposition and conjunctions are commonly inserted. Fourth, referring to the configuration of the constituents between the matrix and embedded language, nouns, verbs and prepositions show their flexibility and productivity to be attached by other constituents or to attach to the other words. Fifth, CS from English to Indonesian or vice versa in classroom communications utilized by English teachers of senior high schools is constrained by seven rules. They include (1) linier order approach or equivalence constrained, (2) the level of the constituents, (3) morpheme order principle, (4) closed and open word constraint, (5) the relatedness of modified and modifying constituents, (6) the government constraint, (7) Functional Head, and (8) sub-categorization. Sixth, the use of CS in classroom communications is motivated by nine reasons. They include (1) insufficiency of students’ English mastery, (2) inadequate knowledge of codeswitchers (English teachers), (3) unavailability of particular lexical items of the activated languages, (4) language stagnancy, (5) the coverage of the semantic features of the code-switched language, (6) the emotional conditions of the participants, (7) the closeness of the language and culture, (8) the tiredness of language, and (9) class situations. Seventh, CS from English to Indonesian or vice versa as practiced by English teachers serves three functions which include (1) presenting materials, (2) managing classroom activities, and (3) representing discourse markers. In reference to the above findings, it is evident that codeswitching practices in the process of English language teaching and learning at senior high schools is unique in nature. Added to this, CS is not randomly done by English teachers of senior high schools in DIY. Therefore, English teachers may use CS as one the strategies in teaching English at senior high schools on the grounds that students perform insufficient English ability to exclusively use English as a means of classroom communication. In line with the development of students’ English sufficiency, English teachers need to gradually minimise use of CS in order to provide students with English input to facilitate them to maximally acquire the target language.

Kata Kunci : Alih Kode, Pengajaran Bahasa Inggris, Seting Formal


    Tidak tersedia file untuk ditampilkan ke publik.