Laporkan Masalah

Pemerintahan desa dalam transisi kebijakan :: Studi implementasi perubahan struktur kelembagaan Pemerintahan Desa dari UU No.22/1999 ke UU No. 32/2004 di Kabupaten Sleman

BASUKI, Drs. Mulyadi, M.P.P

2007 | Tesis | S2 Magister Studi Kebijakan

Pergantian rejim pemerintahan disertai perubahan kebijakan penyelenggaraan pemerintahan desa melalui UU No. 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah. Kebijakan nasional tersebut membawa implikasi perubahan kebijakan di tingkat lokal dan desa. Secara teoritis, dengan desentralisasi yang mengkerangkai pengambilan kebijakan seharusnya lebih cepat untuk merespon perubahan tersebut. Realitasnya proses pengambilan keputusan memerlukan waktu panjang yang mengindikasikan tidak mudahnya pengelolaan perubahan dan masa transisi yang berimplikasi pada penyelenggaraan pemerintahan desa. Penelitian ini mengelaborasi proses yang terjadi pada implementasi perubahan serta dinamika yang muncul dengan pendekatan studi kebijakan. Untuk memperoleh gambaran yang komprehensif studi ini mendekati unit analisis dan subyek penelitian melalui deskriptif kualitatif. Pada level kabupaten membidik proses policy making untuk menyiapkan infrastruktur kebijakan yang diperlukan yang menggambarkan interaksi kabupaten dan desa. Dinamika yang muncul sejak diberlakukannya UU No. 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah khususnya yang mengatur penyelenggaraan pemerintahan desa tersebut secara kronologis ditelusuri sampai level desa. Di aras desa memilih Desa Sukoharjo dan Desa Sinduadi untuk mengetahui upaya dan kendala implementasi perubahan struktur kelembagaan pemerintahan desa. Sebagai studi kualitatif peneliti merupakan instrumen utama dengan teknik dokumentasi, wawancara dan observasi dengan analisis data menggunakan model interaktif. Studi ini mencatat dua hal penting pada level yang berbeda. Padal level kabupaten proses implementasi perubahan struktur kelembagaan pemerintahan desa diawali dengan redisain kebijakan untuk menyiapkan infrakstruktur yang diperlukan. Pada level ini Pemerintah Kabupaten merupakan aktor kunci sebagai pemegang fungsi policy making yang memegang superioritas atas desa. Secara komparatif relatif lebih lambat dibandingkan beberapa daerah lain dalam implementasi perubahan kebijakan. Hal ini berkaitan dengan agenda publik dan agenda formal yang berpadu menjadi visi menciptakan pedoman untuk mewujudkan perubahan yang diinginkan. Agenda publik sedikit tergusur oleh konsentrasi pemilu dan pilkadal pada tahun 2004 dan 2005, sementara agenda formal terkesampingkan oleh konsolidasi pemerintahan baru dan konsentrasi penanganan bencana alam Gunung Merapi dan Gempa 27 Mei 2006. Penciptaan visi bersama menuju perubahan yang diinginkan mengalami proses rumit dan berkepanjangan oleh karena difraksi berbagai kepentingan dan segregasi para pihak serta alotnya agregasi kepentingan melalui keputusan politik untuk menghasilkan Perda Nomor 1, 2 dan 3 Tahun 2007. Inovasi kebijakan muncul pada kasus reposisi Sekretaris BPD untuk memperkuat aspek perencanaan di desa sekaligus mengembalikan otonomi desa melalui kewenangan Kepala Desa dan BPD untuk membentuk SOTK Pemerintah Desa dan mengalihkan posisi personil Sekretaris BPD. Di aras desa, panjangnya proses dan lamanya waktu policy making berimplikasi pada masa transisi yang lebih lama dan mengambangnya struktur kelembagaan yang membuat Pemerintah Desa gamang dalam menyelenggarakan pemerintahan desa. Secara umum implementasi perubahan struktur kelembagaan pemerintahan desa diawali dengan pembentukan BPD, dilanjutkan pemilihan Kepala Desa serta penetapan SOTK Pemerintah Desa dengan peraturan desa. Secara teknis kelembagaan meliputi perubahan Lurah Desa menjadi Kepala Desa, Badan Perwakilan Desa menjadi Badan Permusyawaratan Desa, Reposisi Sekretaris Badan Perwakilan Desa dan perubahan Carik Desa menjadi Sekretaris Desa. Upaya perubahan Lurah Desa menjadi Kepala Desa dan perubahan BPD menjadi Badan Permusyawaratan Desa tidak mengalami kendala yang berarti. Reposisi Sekretaris BPD mengalami kendala perbedaan pemaknaan keputusan politik antara Kabupaten dan Desa. Perubahan Carik Desa menjadi Sekretaris Desa mengalami kendala keterlambatan adanya pedoman lebih lanjut. Studi ini menyimpulkan beberapa hal. Pertama, kebijakan tetap mengisi lowongan jabatan Sekretaris BPD di Desa Nogotirto dan Desa Sendangadi pada tahun 2004 dan Desa Sukoharjo serta Desa Kalitirto pada tahun 2005 adalah tidak tepat. Implikasinya semakin memperumit reposisi personilnya pada struktur kelembagaan dalam SOTK Pemerintah Desa. Kedua, pembatalan pengisian Carik Desa di Desa Sukoharjo dan Desa Margorejo pada tahun 2004 merupakan hal yang tepat, yang mengurangi beban permasalahan personil Carik Desa yang tidak dapat diusulkan menjadi Sekretaris Desa dengan status PNS. Ketiga, proses policy making penetapan Perda Nomor 1, 2 dan 3 Tahun 2007 tentang pemerintahan desa menjadi medan pertarungan para pihak memperjuangkan kepentingannya yang pada akhirnya superioritas kabupaten memegang kendali interaksi kabupaten dan desa. Ketiga, struktur kelembagaan pemerintahan desa belum mampu menunjukkan visinya bagi pemberdayaan pemerintahan desa masih terkooptasi dalam segregasi kepentingannya masing-masing elemen. Policy maker berupaya memberikan visi pemberdayaan tersebut melalui keputusan politik tentang pedoman SOTK Pemerintah Desa. Keempat, pada level desa memaknai pengembalian kewenangan sebagai upaya mengalihkan persoalan ke desa serta semata-mata solusi untuk mengakomodasi personil Sekretaris BPD pada SOTK Pemerintah Desa. Kelima, secara pendekatan stukturasi pada level makro struktur kelembagaan pemerintahan desa masih menghadapi kendala pada level organisasi pemerintahan dan level human actornya (aparat desa dan individu warga desa). Diperlukan sebuah tata kelola pada masa transisi kebijakan yang berkarakteristik mampu mengantarkan perubahan bisa dicapai dan mengatasi resistensi yang terjadi melalui komunikasi, negosiasi dan kompromi multistakeholder. Struktur mediasi kabupaten harus berperan sebagai fasilitasi dan pendampingan untuk mewujudkan perubahan kelembagaan yang memenuhi kebutuhan Desa dengan didukung konsistensi kebijakan lainnya. Pemerintah desa perlu mengelola rasionalitas kelembagaannya sesuai kebutuhan, didukung struktur dan agensi yang solid yang merepresentasikan kepentingan desa.

Regime transition is accompanied by the implemented change in village administration policy through the Act No. 32/2004 on Local Government. This national policy has resulted in the policy change at local district and village levels. Theoretically, under decentralization framework it should be that policy making is faster in responding such a change. In practice, the decision making process takes longer time and it indicates difficulty in managing the change and transition period providing implications on village administration. The present research elaborates the undergoing implemented process of change and emerging dynamics under the approach of policy study. To obtain comprehensive description, this study approaches analysis unit and research subjects through descriptive qualitative method. At district level, the policy making process of preparing required infrastructure was studied to describe the interaction between districts and villages. Dynamics emerged since the effect of the Act No. 32/2004 on local administration particularly regulating village administration was chronologically traced to village level. At village level, Sukoharjo and Sinduadi villages are assigned in this study to identify efforts and impediments of the implemented change in the institutional structure of village administration. As qualitative study, the researcher was the main human instrument utilizing documentations, interviews and observations, while interactive model was used in data analysis. \This study identified two important things at different levels. At district level, the implemented process of change in village administration institutional structure started with redesigning policy to prepare required infrastructure. At such a level, district government was the key actor running policy making function and holding superiority on villages. It was relatively slower compared to other localities in implementing policy change. This related to public and formal agenda integrated with vision in creating guidance to accomplish needed change. Public agenda was quite less emphasized due to concentration on the 2004 general election and 2005 pilkadal (local district head election), while formal agenda received less attention as a result of the consolidating efforts of new administration and management efforts focused on the last 2006 Mount Merapi eruption and 27 May 2006 earthquake disasters. Creating common vision into required change has undergone complicated and longer process due to the diffracted various interests and segregated parties and difficult aggregated interests through political decision in producing the 2007 Perda (Local Regulation) No. 1, 2 and 3. Innovated policy emerge during the case of Sekretaris BPD (BPD Secretary) reposition to strengthen village planning aspect and to restore village autonomy through the authorities of village heads and BPDs in establishing SOTK of village administration and shift the position of BPD Secretary personnel. At village level, lengthy process and longer time of policy making resulted in the longer transition period and the uncertainty of institutional structure leading the village authorities are not confident in running village administration. Generally, the implemented change in village administration institutional structure starts with the BPD establishment, village head election and the SOTK of village authority establishment through village decree. Technically, the institutional structure involves the shift in terms of Lurah Desa into Kepala Desa, Badan Perwakilan Desa into Badan Permusyawaratan Desa, the reposition of Sekretaris Badan Perwakilan Desa and the shift in terms of Carik Desa into Sekretaris Desa. Efforts of shifting the Lurah Desa into Kepala Desa and the BPD into Badan Permusyawaratan Desa did not encounter significant impediment. The Sekretaris BPD reposition suffered from hindrance in providing different meaning on political decision of districts and villages. The change in terms of Carik Desa into Sekretaris Desa was late due to waiting for further guidance. This research concluded following points. First, policy of keeping to fill the vacant positions of Nogotirto and Sendangadi villages in 2004 and of Sukoharjo and Kalitirto villages in 2005 was not appropriate. It resulted in difficult reposition of personnel in institutional structure of village administration SOTK. Secondly, the annulment of Carik Desa position fulfillment in Sukoharjo and Margorejo villages in 2004 was considered as appropriate; this lessened problems of Carik Desa infeasible for Sekretaris Desa position with civil servant status. Thirdly, policy making process of 2007 Perda No. 1, 2 and 3 issuance on village administration turned out to be competition arena among parties struggling for theirown interest leading to the control of district superiority on the interaction between district and village. Thirdly, the institutional structure of village administration has not capable to present vision for empowering village administration and it has been still co-opted in interest segregation of individual element. Policy makers attempt to present the vision of empowerment through political decision based on SOTK guidance of local authority. Fourth, at village level, returning effort of authority is effort of shifting problem to village and it is only a solution for accommodating Sekretaris BPD personnel in SOTK of village administration . Fifth, based on structurization approach, at macro level, institutional structure of village administration has been still impeded in terms of administrative (structural) organization and human actor/agency (village administration personnel and individual villager) levels. A characteristic policy transition period management with capability is required to bring about such shifting to achieve and solve existing resistances through communication, negotiation and compromise among multistakeholders. Mediation structure at district level should have facilitating and assisting roles in institutional change realization meeting village needs and supported by other policy consistency. It is necessary for village authority to manage its institutional rationality as needs, supported by solid structure and agencies representing village interests.

Kata Kunci : Kebijakan Pemerintah Daerah,Struktur Kelembagaan Pemerintahan Desa, Regime transition is accompanied by the implemented change in village administration policy through the Act No. 32/2004 on Local Government. This national policy has resulted in the polic


    Tidak tersedia file untuk ditampilkan ke publik.