Laporkan Masalah

Konflik Kepala Daerah dengan Birokrasi :: Studi tentang Konflik dalam Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah di Kabupaten Temanggung

SANTOSO, Herman, Dr. Agus Pramusinto, MDA

2007 | Tesis | Magister Administrasi Publik

Dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah sebagaimana yang diatur dalam Undang-undang nomor 22 tahun 1999 yang kemudian diganti dengan UU nomor 32 tahun 2004, secara empirik terdapat tiga komponen penyelenggara pemerintahan daerah, yaitu DPRD dan Kepala Daerah / Wakil Kepala Daerah sebagai pejabat politik serta Perangkat Daerah yang merupakan pejabat karier. Ketiga komponen tersebut bertanggung jawab untuk menyelenggarakan pemerintahan di daerah. Penyelenggaraan pemerintahan daerah bertujuan untuk mencapai kesejahteraan masyarakat. Untuk mencapai tujuan tersebut, ketiga komponen pemerintahan daerah tersebut harus dapat mendudukkan dirinya sesuai dengan peran dan fungsinya masing-masing. Ketidakjelasan serta penggunaan kewenangan dan peran yang melampaui batas pada ujungnya akan menimbulkan konflik. Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui mengapa konflik yang terjadi antara pejabat publik menguat sehingga dapat menurunkan Kepala Daerah, khususnya Bupati Temanggung, dari jabatannya. Selain itu, penelitian ini bertujuan untuk mengetahui apa yang menjadi pemicu konflik, bagaimana akselerasi konflik terjadi dan apa yang memperkuat konsolidasi berbagai kekuatan sehingga pada akhirnya dapat menurunkan Bupati Temanggung dari jabatannya. Untuk mencapai tujuan penelitian tersebut, metode yang dipergunakan adalah metode kualitatif. Data dikumpulkan melalui wawancara mendalam dengan informan kunci serta dokumen-dokumen pendukung. Hasil penelitian diuraikan secara deskriptif untuk kemudian dianalisis dan diinterpretasikan dalam rangka menemukan jawaban atas pertanyaan penelitian. Analisis penelitian menunjukkan bahwa konflik yang terjadi dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah di Kabupaten Temanggung merupakan konflik yang sangat kompleks dan multidimensional. Konflik dipicu oleh ketidakkonsistenan Bupati terutama dalam bidang kepegawaian dan keuangan. Pada waktu yang bersamaan, Bupati tidak dapat membangun hubungan yang baik dengan Wakil Bupati dan Muspida (Musyawarah Pimpinan Daerah) serta masyarakat. Perilaku kepemimpinan Bupati yang cenderung otoriter dalam setiap langkah dan kebijakan membuat koordinasi dan komunikasi tidak berjalan dengan baik. Akibat langkah dan kebijakan tersebut, banyak pihak merasa dirugikan. Para pejabat birokrasi yang merasa tertekan, tidak bisa melawan dan dijadikan kambing hitam oleh Bupati akhirnya mengundurkan diri karena merasa sudah tidak mampu melayani dan melaksanakan tugas dan tanggung jawab yang diberikan Bupati. Pengunduran diri secara beramai-ramai tersebut mendapat dukungan dari masyarakat luas dan direspon oleh DPRD, hingga DPRD menggunakan hak interpelasi, hak angket dan akhirnya mencabut dukungan politisnya terhadap Bupati. Hasil dari penelitian ini menyarankan untuk menelaah kembali bagaimana menempatkan posisi pejabat karier dari pejabat politik, peninjauan kembali persyaratan calon Kepala Daerah, wacana pemberian kewenangan yang lebih besar kepada Gubernur sebagai jalan keluar apabila menghadapi konflik dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah dan penyederhanaan pemberian ijin bagi pemeriksaan dan penahanan Kepala Daerah / Wakil Kepala Daerah yang tersangkut masalah hukum.

In the implementation of local government, as arranged in in Law Number 22 Year 1999 which then is changed with Law Number 32 Year 2004, empirically there are three organizing components of local government. The three components are DPRD (local parliament) and district head/vice district head as political official and district instrument as career official. The three components are responsible for carrying out the local goverment. Furthermore, the aim of the implementation of local government is to reach public prosperity, which becomes the final of it. To make it happen, the three components should be able to settle themseleves in accordance with its role and function. The uncertainly of authority usage and the role that goes beyond its border in the end will lead to a conflict. This research is done to know why conflict which happened between public official increased, so the district resigned. It has happened to Regent of Temanggung. Besides that, this research has purposes to know what has been the trigger of the conflict, how conflict accelerated, and what factor strengthened consolidation of various powers behind the resignation. A research always needs a method to describe and analyze it. In this research, qualitative method is used. Collecting data throught in-depth interview with key informants and supported documents are needed here. The result is explained descriptively. Then, it is analyzed and interpreted in purpose for answering research questions. Research analysis indicates that conflict, which happened in the implementation of local goverment in Temanggung Regency, was complex and multidimensional. The conflict was triggered by inconsistency of the Regent, especially in the field of officialdom and finance. At the same time, the Regent couldn’t build a good relationship within his vice, Muspida (council of local government officials) and Temanggung people. The Regent’s leadership tended to be autoritative in every step and policy. It made the coordination and communications between him and his officers unwell. Because of his leadership, many parties suffered losses. The bureaucrats felt under-pressure, they couldn’t fight againts the Regent frontally. Instead if it, they became the scapegoat of the Regent. Nevertheless, they chose to resign. They thought they were unable to serve and execute regency duties anymore. Moreover, the mass resignation got support from people. Even DPRD responded it by applying interpellation right, enquette right and drew their political support toward the Regent. The result of this research suggests to re-analyze how to place career official and political officials, re-sight the clauses of district head candidates, give the larger authority to Governor as a way out if local goverment faces same problem, and simplify the permission of inspection and detention for district leader / vice district leader who have law problems.

Kata Kunci : Otonomi Daerah,Konflik Lembaga Pemerintah Daerah


    Tidak tersedia file untuk ditampilkan ke publik.