Laporkan Masalah

Rama Tambak :: Presentasi mitos pada masa akhir orde baru

IRAWAN, Drs. Mulyadi, M.S

2005 | Tesis | S2 Antropologi

Sebagai titik awal memahami masyarakat, berkaitan dengan berbagai peristiwa seputar tahun 1998, yang ditandai dengan sekaligus dipergunakan pertunjukkan wayang kulit dengan cerita Rama Tambak. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui struktur pemikiran dan makna yang ada di balik cerita tersebut. Selain itu, bagaimana cerita Rama Tambak memiliki relevansi dengan konteks sosial pertunjukkan. Pendekatan kwalitatif digunakan untuk melakukan penelitian ini. Penelitian dilakukan terhadap komunitas pedalangan di Surakarta, sebagai sebuah komunitas Jawa yang intens mendukung budaya wayang Jawa. Cerita wayang yang dianggap mitos dipertunjukkan kembali dalam konteks sosial yang berbeda. Data yang dikumpulkan berupa data sekunder dari berbagai sumber tertulis, terutama data etnografis tentang kebudayaan Jawa. Data primer didapat dari hasil wawancara dengan komunitas pedalangan. Wawancara ini terutama untuk memperoleh komentar mereka yang mengapresiasi pertunjukan tersebut. Analisis dilakukan dengan menggunakan pendekatan Levi -Strauss atas mitos, serta mencari kesejajaran antara teks cerita dari pertunjukan dengan komentar komunitas pedalangan yang sering mereka kaitkan dengan pengalaman hidupnya. Berdasar penelitian ini diperoleh pemahaman bahwa masyarakat memiliki kecenderungan melihat pertunjukan Rama Tambak sebagai gambaran yang muncul spontan, alami dan berkaitan dengan realitas kehidupan sehariharinya, terutama dalam hubungan dengan kekuasaan. Dalam kehidupannya, rakyat disubordinasi sehingga cenderung tersingkirkan, seperti melalui kuningisasi. Dengan demikian penguasa lebih leluasa menjalankan kekuasaan, tanpa bisa dikontrol masyarakat luas. Kondisi ini mendorong kekuasaan menjadi semena-mena sehingga bercampur antara cara-cara Rawana, rawaniyah yang kotor, penuh pamrih dengan cara-cara Rama, ramaniyah, yang bersih, tanpa pamrih. Barang siapa berbeda, menghindar apalagi menentang penguasa, dilumat habis tanpa bekas, demikian salah satu prinsip Rawana. Praktek kekuasaan yang didominasi prinsip ini dirasakan rakyat sebagai bentuk kesewenang- wenangan, kekuasaan menjadi hukum itu sendiri, dalam arti ia menjadi dasar kebenaran. Berbagai komentar sosial masyarakat atas cerita mitos yang dipertunjukan kembali, menjadikan mitos tersebut hidup. Pertunjukkan wayang lakon Rama Tambak menjadi gambaran spontan, alami atas apa yang terjadi di masyarakat. Rama Tambak menjadi semacam gerak spontan, refleks yang cenderung tanpa disadari menjadi wahana bagi mitos untuk tetap bermakna dalam konteks sosial sekarang, sebagaimana komentar sosial masyarakat Jawa.

As the point of view to understand society to many happenings in 1998’s as noted by the wayang kulit performance in the story of Rama Tambak. The aim of the research is to know the structure of the ways of thingking and the meaning behind the story. Besides, how Rama Tambak performance connected to the sosial context of the show. Qualitative research is used in this reseach. The research is applied to the pedalangan community in Surakarta, as a Javanese community that intensively supports the javanese wayang culture. The puppet show is treated as myth performance now represented in a different social contex. Data collected are secondary data from various written sourses mainly ethnography data about javanese culture. Primary data are resulted from interviews with the pedalangan society. The interview is firsly intended to get comments from those who appreciate the puppet show. The research is done using the Levi-Struss approach in connection with myth and by looking at the similarities between the story with the comments of pedalangan community oftenly connected with the real expperiences. Based on this research, it is understood that society has a tendency to see Rama Tambak performance as a spontaneous picture, naturaly and related to the real life, especially with the authority. In real life people are subordinate that they are eliminated by the kuningisasi. Thus, authority does its power without control from the society. The condition resulted is an unfair authority using a mix ways between durty tendencious ways with the ramaniah that is clean, without tendency. Anything that is different, avoid let alone fight the authority will be killed, this is one of the principles of Rawana. Authority dominated by this principle is unfair; authority is the law, meaning that it becomes the thruth. Various comments from the society about the myth makes it alive. Rama Tambak becomes a spontanous, natural picture reflexs a tendency that is unconsciously becoming a good place for the myth is suitable to the present social context, as commented by pedalangan community.

Kata Kunci : Masyarakat Jawa, Mitos, Rama Tambak, Makna Cerita


    Tidak tersedia file untuk ditampilkan ke publik.