Laporkan Masalah

Dampak otonomi daerah terhadap pembiayaan program-program malaria, imunisasi dan BP Puskesmas di Kabupaten Sanggau

DESEANTO, Natalis, Prof.dr. Hari Kusnanto, Dr.PH

2004 | Tesis | S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat

Latar Belakang: Berlakunya otonomi daerah di Indonesia pada tahun 2001 mengakibatkan perubahan dalam sumber pembiayaan termasuk dalam bidang kesehatan. Hal tersebut terlihat dari dana yang diberikan oleh pemerintah pusat berupa “block grants” yang berpengaruh terhadap struktur pembiayaan di daerah. Dinas Kesehatan kabupaten mendapatkan wewenang dalam mengatur anggaran yang ada. Hal tersebut membuat program kesehatan yang dilakukan dinas kesehatan berubah mengikuti pola yang ada sehingga akan terjadi perubahan dalam pembiayaan program malaria, imunisasi dan BP Puskesmas setelah otonomi. Tujuan Penelitian ini untuk menggambarkan kondisi program malaria, imunisasi dan BP Puskesmas di Kabupaten Sanggau sebelum dan sesudah otonomi. Metode Penelitian: Penelitian ini adalah Penelitian studi kasus deskriptif dengan rancangan time series dengan metode kuantitatif. Variabel penelitian adalah implementasi otonomi daerah dan pembiayaan kesehatan. Subjek Penelitian adalah sub dinas Pemberantasan Penyakit Menular (P2M) dan sub dinas Pelayanan Kesehatan Masyarakat (Yankesmas) pada dinas kesehatan kabupaten Sanggau. Data dikumpulkan secara retrospektif dari tahun 1999- 2003. Hasil Penelitian: Pembiayaan program malaria meningkat 17,87%, imunisasi meningkat 15%dan BP Puskesmas meningkat 12,09%. Sumber pembiayaan untuk program malaria dan imunisasi sebagian besar masih berasal dari pusat walaupun ada peningkatan pendanaan dari APBD II. Sedangkan sumber pendanaan untuk BP Puskesmas mengalami perubahan dari APBD II menjadi DAU dan DAK setelah otonomi. Pembiayaan program malaria lebih banyak untuk komponen obat semprot dan pembelian kelambu, program imunisasi pada pembelian jarum suntik dan distribusi vaksin, BP Puskesmas pada pembelian obat-obatan. Sementara cakupan pelayanan program malaria mengalami penurunan, program imunisasi mengalami peningkatan, namun pada BP Puskesmas mengalami penurunan kunjungan pasien. Kesimpulan: Pembiayaan program malaria, imunisasi dan BP Puskesmas setelah otonomi daerah sebagian besar masih berasal dari pusat. Hal tersebut dikarenakan kemampuan Pemda Sanggau dalam membiayai program dengan dana dari PAD masih belum memadai karena PAD yang diperoleh sangat kecil bila dibandingkan dengan DAU dan DAK.

Background: The implementation of regional autonomy starting from 2001 has changed the amount and types of resources for public services, including in the health sector. The transfer of funding from the Central Government is in the form of block grants. District health offices have the authority to allocate certain amount of financial resources. Fundings of activities in malaria control, immunization and outpatient clinics at Primary Health Care have changed along with the financial transfer scheme. The aim of the study is to describle the changes in funding structure for malaria, immunization and outpatient clinic at Primary Health Care. Method: This was a descriptive research with time series design. The independent variable of the research was implementation of regional autonomy and the dependent variable was funding of health programs. The subject of this research was Infectious Disease Control (P2M) and Public Health Service (Yankesmas) section in the District Health Office of Sanggau. Data were collected retrospectively in the year of 1999-2003. Result: The funding of malaria program increased 17.87%, immunization increased 15% and outpatient clinic in Puskesmas increased 12.09% in five years. Most of funding sources for malaria and immunization still originated from the central government although there was an increase in funding from the local budget and expenditure (APBD II). On the other hand, the funding source for outpatient clinic in Primary Health Care has experienced changes from APBD II to general allocation fund (DAU) and special allocation fund (DAK) after autonomy. The funding program of malaria was more in the component of purchasing insecticides and mosquito net, immunization program in the purchasing of needles and vaccine distribution, and outpatient clinic in Puskesmas in the purchaces of drugs. The coverage of malaria program service has decreased; immunization program has increased, and outpatient clinic services in Primary Health Center experienced decreasing visits. Conclusion: Most of the funding for malaria, immunization programs and outpatient clinic in Primary Health Care after regional autonomy were still originated from central government. This was caused by insufficient ability of regional government of Sanggau in funding the program since local revenue (PAD) was very low compared to DAU and DAK. Local revenues deneration should be enhanced and contribute to community health development.

Kata Kunci : Kebijakan Layanan Kesehatan, Otonomi Daerah, Pembiayaan Program Malaria dan Imunisasi, funding of health program, regional autonomy.


    Tidak tersedia file untuk ditampilkan ke publik.