Kebijakan desentralisasi dan otonomi fiskal yang diakomodir dengan UU No 22 dan 25 Tahun 1999, UU No 34 Tahun 2000 serta kebijakan-kebijakan yang mengikutinya seperti PP No 65 dan 66 Tahun 2001 memberikan perubahan dalam tata keuangan daerah di Kabupaten/Kota di seluruh Indonesia. Fakta menunjukkan bahwa porsi pembelanjaan pemerintah pusat untuk belanja pemerintah daerah semakin membesar dan struktur keuangan daerah dalam pos transfer pemerintah atasan semakin meningkat. Akan tetapi jika dicermati lebih lanjut, komposisi transfer pemerintah pusat baik yang melalui Dana Bagi Hasil (DBH), Dana Alokasi Umum (DAU) dan Dana Alokasi Khusus (DAK) persentase penerimaannya dibandingkan dengan Total Penerimaan Daerah (TPD) mendominasi struktur penerimaan. Dari kasus keuangan daerah Kota Yogyakarta, baik pada saat sebelum dilaksanakan desentralisasi fiskal maupun setelah dilaksanakan desentralisasi fiskal ternyata tidak menunjukkan perubahan yang cukup berarti. Transfer pemerintahan atasan tetap mendominasi Total Penerimaan Daerah (TPD) dan Total Pengeluaran Daerah (TPeD). Artinya keuangan daerah Kota Yogyakarta bergantung pada transfer pemerintah pusat atau dengan kata lain terdapat kondisi ketidakmandirian keuangan daerah. Hal ini menimbulkan pertanyaan mengapa kebijakan desentralisasi fiskal tidak mampu memandirikan keuangan daerah Kota Yogyakarta dan faktor- faktor apa saja yang berpengaruh terhadap ketidakmandirian tersebut. Dengan menggunakan metode penelitian deskriptif kualitatif, penelitian ini berusaha menggambarkan secara cermat karakteristik keuangan daerah Kota Yogyakarta dalam konteks kemandirian keuangan daerah. Sumber data diperoleh dari key informan yang berasal dari instansi-instansi terkait seperti BPKD, KPPD, BAPPEDA, Komisi C dan Panitia Anggaran DPRD Kota Yogyakarta. Dengan menggunakan teknik pengumpulan data depth interview dan dokumentasi informasi dikumpulkan untuk memperoleh hasil yang lebih komprehensif terutama dalam memadukan analisis data kuantitatif dan kualitatif. Dari hasil penelitian dengan menggunakan indikator (1) Derajad Desentralisasi Fiskal (DDF) yang terdiri dari sub indikator %PAD/TPD, %BHPBP/TPD, %PBB/TPD, %BPHTB/TPD dan %DP/TPD, (2) Kapasitas Fiskal, (3) Gap Fiskal, (4) Vertikal Imbalance dan (5) Koefisien Ketimpangan Fiskal (KKF) dapat diketahui bahwa rata-rata persentase DDF-1 keuangan Kota Yogyakarta pada tahun 2001-2004 adalah sebesar 18,83%, di mana dalam kriteria penilaian termasuk dalam kualifikasi kurang. Rata-Rata persentase DDF-2 adalah sebesar 10%, DDF-3 dari formula %PBB/TPD adalah sebesar 4,18%, DDF-4 dari formula BPHTB/TPD sebesar 2,26%, dan DDF-5 dari formula %DP/TPD diperolah rata-rata persentase sebesar 72,20% pada tahun 2001-2004. Rata-rata %DP/TPD pada tahun 1998-2000 adalah 64,37%. Kondisi ini menggambarkan semakin menguatnya dominasi penerimaan keuangan daerah dari pemerintah atasan. Nilai KF-1 pada tahun 2001-2004 lebih rendah 3,43 dibandingkan nilai KF-1 tahun 1998-2000. Nilai KF-2 tahun 2001-2004 lebih tinggi daripada nilai KF-2 tahun 1998-2000, akan tetapi nilai KF-2 tidak menunjukkan kondisi riil daerah karena kapasitas fiskal banyak disupport oleh pemerintah atasan. Nilai Gap Fiskal Tahun 2001-2004 menggambarkan adanya imaginary fiscal capacity akibat dominasi transfer pemerintah pusat dalam fiscal capacity daerah. Rata-rata persentase nilai VI dan KKF Kota pada tahun 2001-2004 masing-masing sebesar 78,5% dan 0,23. Angka ini menggambarkan ketergantungan yang sangat tinggi dalam pembiayaan pengeluaran daerah dari transfer pemerintah atasan serta masih terdapatnya kontrol fiskal pemerintah pusat terhadap anggaran pemerintah daerah. Dari penelitian ini juga diperoleh penyebab mengapa kebijakan desentralisasi fiskal tidak mampu memandirikan keuangan daerah, yang disebabkan oleh dua faktor utama yaitu (1) permasalahan dalam kewenangan dan implementasi revenue assignment dan (2) potensi penerimaan daerah itu sendiri. Dari faktor pertama diketahui bahwa realisasi revenue assignment terhadap perencanaan, pemungutan dan pengelolaan keuangan daerah menimbulkan beberapa permasalahan seperti terbatasnya jenis kewenangan pajak dan retribusi daerah, kesulitan penentuan kriteria obyek pajak dan retribusi sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku serta belum adanya otonomi fiskal pemerintah daerah dalam menentukan basis dan besaran tarif pajak daerah, selain itu juga seringkali terjadi overlapping pungutan dari pemerintah daerah terhadap pajak pusat. Pola hubungan keuangan bersifat kemitraan akan tetapi tetap memunculkan sifat instruktif administratif dan koordinatif antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah. Dari faktor kedua kendala yang cukup signifikan adalah permasalahan teknis dan optimalisasi potensi baik dari pajak maupun retribusi daerah. Akhirnya, penelitian ini memberikan suatu kesepahaman arti kemandirian keuangan daerah bagi pemerintah daerah Kota Yogyakarta yaitu adanya independensi pemda dalam melakukan perencanaan, pemungutan & optimalisasi pemungutan serta pengelolaan. Selain itu terdapat usulan indikator tambahan untuk mengetahui kemandirian keuangan daerah yaitu dengan formula (PAD+DBH)/TPD. Pertimbangannya adalah DBH merupakan hak daerah dan obyek serta mobilitas obyek pungut DBH berada di daerah. Dengan adanya formula baru ini menyebabkan naiknya DDF Kota Yogyakarta menjadi kualifikasi sedang. Yang terpenting dari kualifikasi kemandirian keuangan daerah dengan demikian selain kualifikasi kuantitatif juga kualifikasi kualitatif seperti pengambilan keputusan dalam perencanaan, pemungutan pendapatan serta pengelolaan keuangan daerah yang semakin mandiri.

The policy of decentralization and fiscal autonomy in UU No. 22 and 25 Tahun 1999, UU No. 34 Tahun 2000 and also the policies following it as PP No. 65 and 66 Tahun 2001 result in the change of the local financial arrangement of regency/municipality across Indonesia. The fact is that the portion of central government expenditure for local government expenditure was increasingly bigger and the local financial structure of the post of superior government increased. However, taking a closer look it is clear that income percentage of the transfer composition of central government through Dana Bagi Hasil (DBH), Dana Alokasi Umum (DAU) and Dana Alokasi Khusus (DAK) dominates the income structure as compared to Total Penerimaan Daerah (TPD). The financial case of the Municipality of Yogyakarta both before and after the fiscal decentralization did not show any significant change. The transfer of the superior government remained dominating the Total Penerimaan Daerah (TPD) and Total Pengeluaran Daerah (TpeD). It means that the local finance of the Municipality of Yogyakarta depends on the transfer of central government or the fiscal decentralization does not result in the autonomy of the local finance of the Municipality. It raises the question why the policy of fiscal decentralization does not result in the autonomy of the local finance of the Municipality of Yogyakarta and what are the influencing factors of it. Using a qualitative-descriptive method the author of the study tries to thoroughly describe the characteristics of the local finance of the Municipality of Yogyakarta in the context of local financial autonomy. The data is gathered from the key informants coming from the related institutions as BPKD, KPPD, BAPPEDA, Komisi C and Panitia Anggaran DPRD Kota Yogyakarta. The information is obtained using the data collection techniques of in-depth interview and documentation for more comprehensive results, especially in integrating the qualitative and quantitative analyses. Based on the results of the study using the indicators of (1) Derajat Desentralisasi Fiskal (DDF) consisting of the sub-indicators of % PAD/TPD, %BHPBP/TPD, %PBB/TPD, %BPHTB/TPD, and % DP/TPD, (2) fiscal capacity, (3) fiscal gap, (4) vertical imbalance and (5) Koefisien Ketimpangan Fiscal (KKF) it is found that the average DDF-1 percentage of the Municipality City of Yogyakarta in 2001-2004 is 18.83%, which meets the criteria of less qualified. The average DDF-2 percentage is 10%, the DDF-3 from the formula %PBB/TPD is 4.18%, DDF-4 from the formula BPHTB/TPD is 2.26%, and DDF-5 from the formula %DP/TPD is 72.20% in 2001-2004 on average. The average % DP/TPD in 1998-2000 is 64.37%. The condition is indicative of the increasingly stronger domination of the local financial income from the superior government. The KF-1 value in 2001-2004 is low (3.43) as compared to the KF-1 value in 1998-2000. The KF-2 value of 2001-2004 is higher than that of 1998-2000, but the KF-2 value is not indicative of the real condition of the local government because the fiscal capacity is more supported by the superior government. The fiscal gap value of 2001-2004 is indicative of the presence of imaginary fiscal capacity resulting from the domination of the transfer of central government in the local fiscal capacity. The numbers indicate the high dependence in the financing of the local expenditure from the transfer of the superior government and also the presence of the fiscal control by central government over local budget. The main causal factors are found in the study why the fiscal decentralization policy does not result in the autonomy of local finance. They are (1) the problem existing in the authority and the implementation of revenue assignment and (2) the potentials of the local income per se. It is clearly observed from the fist factor that the revenue assignment realization of the planning, the collection and the management of local finance result in some problems as the limitation in the kinds of tax authority and local retribution, the difficulty in determining the criteria of the tax and retribution objects following the existing regulations and also the absence of fiscal autonomy of local government in determining the basis and the magnitude of the local tax rate. Additionally, there are often overlapping in the collection by the local and central governments. The financial relationship that is partnership in nature is still contaminated by in the instructive, administrative and coordinative relationship between central and local governments. Considering the second factor the significant obstacle is technical problem and the optimization of the potential of both local tax and retribution. Finally, the study provides the local government of the Municipality of Yogyakarta with the same understanding of the local financial autonomy, which is the presence of the independence of the local government in planning, collecting and optimizing and managing the existing potential. Additionally, there is also an additional suggestion to investigate the independence of the local finance as in the formula (PAD+DBH)/TPD. The consideration is that the DBH represents the right of local government and the objects and the collecting object mobility are in the local territory of local government. The presence of the new formula results in the increase of the DDF of the Municipality of Yogyakarta, which falls into middle qualification. The most important of the local financial independence is thus the increasingly more independent income collection and the local finance management in addition to the qualitative and quantitative qualification as decision-making and planning.

Kata Kunci : Otonomi Daerah,Fiskal Daerah,Keuangan Daerah