Laporkan Masalah

Banda Aceh :: Dari kota tradisional ke kota kolonial

ANWAR, Prof.Dr. Djoko Suryo

2002 | Tesis | S2 Sejarah

Kajian ini bertujuan untuk memberi gambaran yang jelas mengenai keadaan kota Banda Aceh pada masa Kerajaan Aceh Dmssalam dan perubahannya setelah kota ini berada dalam kekuasaan Pemerintahan Kolonial Belanda Penelitian ini menggunakan metode penelitian sejarah, yaitu heuristik (pengumpulan data), kritik sumber (eksteren dan intern), interpretasi (analisis) dan historiogrdi. Data-data yang digunakan bersumber dari penelitian beberapa arsip kolonial dan sejumlah kepustakaan lain, baik yang berhasa Indonesia maupun bahasa asing. Dalam menjelaskan permasalahan ini digunakan pendekatan ekologi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kota Banda Aceh merupakan sebuah kota maritim yang muncul sejak abad ke-16, dan pernah menjadi kota dagang penting di kawasan Sumatera. Faktor yang turut memperlancar kemajuan kota adalah letaknya pada jalur perdagangan, dampak dari perubahan politik di kawasan Selat Malaka, sentralisasi perdagangan dan banyaknya gelombang migrasi. Sebagai sebuah kota tradisional, Banda Aceh berada di pesisir pantai, dengan Krueng Aceh sebagai penghubung utama menuju ke pusat kota. Di pusat kota terdapat istana sultan (Dulum Duruddunia) , Mesjid Raya Baiturnahman sebagai pusat keagamaan, Tumn Ghuiruh (tarnan rekreasi kerabat kerajaan), pelabuhan dan pasar sebagai sumber penghasilan kerajaan. Di Banda Aceh terdapat kampung pedagang asing yang sampai sekarang nama pemukiman tersebut masih diabadikan, seperti Kampung Melayu, Kampung Jawa, Kampung Kleng dan Kampung Kedah. Sampai pada masa jayanya kota ini tidak dipagari oleh tembok keliling. Hal ini disebabkan karena letaknya yang terlindungi oleh pagar alamiah, tangguhnya armada laut di pesisir dan kuatnya pasukan gajah di daratan. Pada abad ke-19 keadaan politik melemah dan berdampak pada kemunduran berbagai aktivitas kota, terutama dalam aspek perdagangan dan ketahanan, sehingga memudahkan intervensi Belanda ke Aceh. Setelah dikuasai Belanda (1874), kota Banda Aceh ditata dengan tipe kota yang bercorak kolonial guna menunjang pencapaian tujuan kolonialisasi. Di pusat kota, terutama di bekas kompleks istana, dibangun perumahan elite penguasa, perkantoran, tangsi dan berbagai sarana pelayanan umum lainnya. Pada rnasa ini kota Banda Aceh sudah dilengkapi dengan sarana perhubungan kereta api, jaringan jalan raya, pelabuhan dagang,pelayaran antar pulau, pusatpusat pelayanan kesehatan, pengadaan air bersih dan di sekelilingnya dipaga.ri oleh sederetan benteng (lini konsentrasi) yang dijaga ketat oleh personil militer Belanda. Beragamnya pembangunan infrastruktur yang dibangun oleh Belanda telah menimbulkan daya tarik arus urbanisasi ke kota Banda Aceh . Akibatnya, orientasi pengembangan kota berubah, dari pesisir dan pinggiran sungai pada masa kesultanan ke wilayah daratan pada masa kolonial. Banyak pertokoan dan pemukiman muncul sepanjang pinggiran jalan raya dan jalan kereta api di dalam dan sekitar kota, sehingga wilayah pemukiman lama terintegrasi menjadi wilayah-wilayah komersial. Dampak lainnya adalah meningkatnya mobilitas sosial kalangan masyarakat Aceh. Dengan bekal pengetahuan dan modal usaha yang mereka peroleh telah mengubah status mereka menjadi pedagang, pegawai, jurnalis, dan berbagai profesi lainnya.

The objective of the study is to provide description on the situation of Banda Aceh city in the Aceh Darussalam empire era and its change after it was under Nederland Colonial era. The study uses historical method, viz. heuristic (data collecting), source documents critics (extern and intern), interpretation (analysis) and historiography. Data sources are taken from the study of some colonial archieves and some other literatures both in Indonesia and in foreign language. Ecological approach is used to explain the problems. The results of the study show that Banda Aceh city represents Aceh maritime city evolving since 1600s, and has ever been an important commerce city in Sumatera. The factors facilitating the advancement of the city are its location in the commerce traffic line, the impact of the political. change in Malaka Straits, constitutive commerce centralization and the migration. As a traditional city, Banda Aceh is situated in the coastal area with Krueng Aceh as primary intermediating place to the center of the city. There is sultan palace in the city center (Dulum Durudduniu), Baiturrahman Mosque as a religious center, T m n Ghairuh ( a recreating garden for sultanate cercles), and harbor and market as income source of the sultanate. There is a foreign people village that is up to now immortalized as Kampung Jawa, Kampung Kleng and Kampung Keudah. Until its glorious era the city was not fenced in because of the protection of its natural fences, the strong marine fleet and the elephant troops in land. It was in 19 century that the political situation of the sultanate weakened and gave impact to the decline of various activities in the city, especially in the commerce and security aspect that enabled the intervention of Nederland in Aceh. Under the control of Nederland (1874), Banda Aceh city was arranged in a colonial style to support the effort of meeting colonial objectives. In the city center, especially in the ex-sultanate palace, a housing for erterpreneur elites, offices, barracks and various public facilities were constructed. At present, Banda Aceh has been equipped with railways, roads network, commerce harbor, inter-island shipping, health centers, fresh water facilities and fenced around by a series of fortresses (concentration line) under strict control of Nederland military personnel.

Kata Kunci : Sejarah Indonesia,Banda Aceh


    Tidak tersedia file untuk ditampilkan ke publik.