Laporkan Masalah

INSTRUMENTASI MODALITAS SRI SULTAN HAMENGKU BUWONO X DALAM PISOWANAN AGENG 2008

EKO ENI SETYANINGSIH, Abdul Gaffar Karim, M.A.

2015 | Tesis | S2 Politik dan Pemerintahan

Eksistensi dan keistimewaan kraton Yogyakarta kembali teruji di tengah situasi gejolak politik lokal-nasional. Terlihat kepiawaian Sri Sultan Hamengku Buwono X dalam mengemas tradisi kultural keraton untuk mengangkat isu lokal DIY ke tingkat nasional. Penyelenggaraan Pisowanan Ageng I pada bulan Mei 1998 yang merupakan puncak akumulasi dari proses gerakan reformasi di Indonesia. Pisowanan Ageng II digelar pada September 1998 sepeninggal Paku Alam VIII selaku Pejabat Gubernur DIY yang berkaitan dengan suksesi kepemimpinan DIY. Sembilan tahun kemudian diselenggarakan Pisowanan Ageng III pada tanggal 18 April 2007 di saat-saat menjelang pemilihan Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta. Kurang lebih 6 bulan setelahnya, Sultan menyelenggarakan kembali Pisowanan Ageng IV pada tanggal 28 Oktober 2008 yang dalam kesempatan ini Sultan Hamengku Buwono X menyatakan statement kesiapan untuk dicalonkan sebagai Presiden pada pemilu 2009. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan metode field research (penelitian lapangan). Field research secara langsung bersentuhan dengan fenomena sosial yang diteliti. Teknik pengumpulan data dilakukan dengan wawancara mendalam dan dokumentasi. Pemilihan informan dalam penelitian menggunakan teknik purposive sampling. Analisa data menggunakan metode emik dan etik serta literature yang berhubungan dengan masalah penelitian. Sesuai teori modalitas Bourdieu, bahwa untuk menganalisa proses terjadinya Pisowanan Ageng 2008 sebagai fenomena sosial yang sarat akan muatan politik, di mana Sri Sultan Hamengku Buwono X adalah sebagai tokoh sentral dalam pagelaran tersebut dapat melihat modalitas yang melekat padanya. Modalitas tersebut meliputi modal simbolik berupa kehormatan dan reputasi serta gengsi yang merupakan representasi dari kekuasaan Sultan, modal sosial berupa sumber daya faktual dan non-faktual yang terpusat pada sosok pribadi Sultan sebab memiliki jaringan atau hubungan lintas sektoral baik secara kultural maupun struktural, modal budaya di mana menunjukkan selera budaya dan konsumsi pengetahuan Sultan yang terimplementasi pada tutur kata dan atur prilaku sebagai wujud dari persepsi budaya kraton, dan terakhir modal ekonomi berupa properti, uang dan penguasaan aset oleh Sultan yang pasti akan berpengaruh pada relasi dalam sistem pemerintahan DIY dan masyarakat. Mekanisme intrumentasi modal-modal sultan tersebut dapat dilihat dari paparan sebagai berikut: Ada pemanfaatan segala atribut dan simbol yang melekat pada sultan. Penggunakan sarana budaya keraton/ sultan. Pemanfaatan jaringan komunikasi sultan. Serta penggunakan modal sultan sebagai penguasa keraton dan pemimpin Provinsi DIY dalam penggalangan dana sebagai biaya penyelenggaraan pagelaran Pisowanan Ageng 2008. Akan tetapi instrumentasi modalitas Sultan belum dapat dikatakan berhasil karena minimnya dukungan internal Keraton Yogyakarta terhadap pemikiran dan agenda Sultan. Terlepas dari pro dan kontra tersebut, hasil dari penelitian ini menggambarkan bagaimana kepiawaian Sri Sultan Hamengku Buwono X dalam menjalankan peran ganda, yaitu sebagai pemimpin politik di Wilayah DIY yang mampu merespon isu-isu lokal dan nasional. Namun sultan juga berperan sebagai Raja Jawa yang mampu setia dan senantiasa menjaga adat-istiadat budaya Keraton Yogyakarta.

The existance and speciality of Yogyakarta Palace were examined among the situation of local-politics fluctuation. The capability of Sri Sultan Hamengku Buwono X in packing cultural palace tradition to bring Yogyakarta local issue into national level was shiny. The agenda implementation of Pisowanan Ageng I on May 1998 which was a peak accumulation of reformation movement process in Indonesia. Pisowanan Ageng II was held on September 1998 after the death of Paku Alaman VIII as Yogyakarta governor official dealing with Yogyakarta governance succession. 9 years later Pisowanan Ageng III was held on April 18th, 2007 at the moment when Yogyakarta governor election. At least 6 months later, Sultan held Pisowanan Ageng IV on October 28th, 2008 when in this occasion Sultan Hamengku Buwono X stated ready to be a president candidate in the election 2009. This research used qualitative approach by a field-research method. The field-research method directly got in touch with researched social phenomena. The collection technique of data was through the deep research and documentation. The analysis of data used ethical, and referential methods linked to the research issue. According to Bourdieu’s power theory, to analyze Pisowan Ageng 2008 performed as the social phenomenon full of polical motives where Sri Sultan Hamengku Buwono X was as a central fiqure of the performance, could see his own power. The powers involve symbolic power such honour and reputation, as well as prestige as a representative of Sultan’s authority, social power such factual and non-factual powers focused on a figure of Sultan since those have network and relationship across sectors either cultural or stuctural, cultural power which shows Sultan’s cultural preference and knowledge consumption implemented on his speech and attitude as a palace cultural perception, and then economic power such Sultan’s property, money, and asset acquisition, which definitely affects on the relation of Yogyakarta governance system and the society. The mechanism of Sultan’s-power instrumentation can be identified as follows: There was a utilization attribute and symbol which were adhered to Sultan. The utilization of cultural facility of palace or Sultan. The utilization of Sultan’s communication network. As well as the utilization of Sultan’s power as the palace leader and the Yogyakarta governor in fundraising as the agenda performance cost of Pisowan Agen 2008. However, instrumentation of Sultan’s power looked success due to the lack of Yogyakarta-palace internal support toward Sultan’s thought and agenda. Inspite of the pro and contra, the research result describes how well Sri Sultan Hamengku Buwono X handled a double role which is not only as Yogyakarta political leader who is capable to response local and national issues but also as a Java King who is loyal and always preserves customs of Yogyakarta palace.

Kata Kunci : Pisowanan Ageng, Modalitas (Simbolik, Sosial, Budaya, Ekonomi) Sri Sultan Hamengku Buwono X, Instrumentasi Modalitas Sultan


    Tidak tersedia file untuk ditampilkan ke publik.