Laporkan Masalah

BATANG GARING: REALITAS TRANSENDEN, ESTETIKA RAGAM HIAS, DAN SIMBOL IDENTITAS DAYAK NGAJU

OLAV IBAN, Prof. Drs. SP. Gustami, S.U. dan Prof. Dr. Kodiran, M.A.

2014 | Tesis | S2 Pengkajian Seni Pertunjukan dan Seni Rupa

Orang Dayak Ngaju masa lampau percaya bahwa mereka dicipta kan oleh Ranying Hatalla (Tuhan maskulin) dan Jata (Tuhan feminin) melalui pertarungan suci antara burung tingang jantan dengan burung tingang betina memperebutkan Pohon Hayat bernama Batang Garing, seperti yang dikisahkan dalam mitos kosmogoni Dayak Ngaju. Kepercayaan tersebut dirangkum ke dalam simbol religius pohon Batang Garing. Simbol religius tersebut berkembang pemakaiannya menjadi ragam hias yang di dalamnya terdapat unsur burung tingang jantan, burung tingang betina, belanga, gong, dan tombak. Penelitian ini berupaya melacak proses terjadinya ragam hias Batang Garing berikut pengaruh alam jasmani dan alam pikiran Dayak Ngaju yang melingkupinya. Penelitian ini dilandaskan pada dua teori. Pertama, pada teori mitologi Mircea Eliade yang membahas mengenai eternal return, dan kedua, pada teori simbolisme seni Ernst Cassirer. Penelitian ini memakai metode penelitian etnografi. Penelitian ini menemukan tiga peran prinsipal Batang Garing dalam mitos kosmogoni Dayak Ngaju yang membuatnya menjadi simbol religius utama dalam kepercayaan Kaharingan. Semakin berkurangnya pemeluk kepercayaan Kaharingan menyebabkan ragam hias Batang Garing tidak lagi dianggap mewakili konsep yang sakral oleh masyarakat Dayak Ngaju secara luas. Menariknya, ragam hias tersebut ternyata dipakai secara ekstensif di pelbagai penjuru kota di Kalimantan Tengah. Akhirnya disimpulkan bahwa ragam hias Batang Garing di masa kini dipakai lebih sebagai simbol identitas kultural Dayak Ngaju. Dengan demikian, Batang Garing memiliki sejarah panjang: dari pohon yang hidup dalam realitas transenden hingga menjadi ragam hias dan simbol identitas kedaerahan Dayak Ngaju.

Ancient Ngaju Dayaks believe that they are created by Ranying Hatalla (masculine godhead) and Jata (feminine godhead) through a sacred contest between a male hornbill and a female hornbill, fighting for Tree of Life called Batang Garing, as told in Ngaju’s cosmogonic myth. This believe was summarized into a religious symbol of Batang Garing, the representation of total godhead. The symbol’s usage developed into decoration that included a male hornbill, a female hornbill, a jar, gongs, and spears as its principal elements. This research tried to track the existential process of that decoration, also the influences of physical nature and the mind of Ngaju Dayaks within the decoration. This research is based upon Mircea Eliade’s notion of mythology (eternal return) and Ernst Cassirer’s concept of art as symbolic form, with ethnography as method. This research discovered three principal roles of Batang Garing in its myth that made Batang Garing became a main religious symbol in Kaharingan. However, the reduced number of Kaharingan’s believers inevitably inflicted the perception about Batang Garing. It is no longer regarded as representation of sacredness. Interestingly, the Batang Garing decoration is being used expansively in various cities of Central Borneo. Finally, this research concluded that the Batang Garing decoration today is used just as cultural identity symbol. Thus, the Batang Garing has a long history: from a tree that lived in transendental reality into a decoration and a regional identity symbol of Ngaju Dayaks.

Kata Kunci : Dayak Ngaju, mitos kosmogoni, Pohon Hayat, Batang Garing, ragam hias.


    Tidak tersedia file untuk ditampilkan ke publik.