Laporkan Masalah

KONSTRUKSI IDENTITAS KOMUNITAS PERBATASAN: Perebutan Simbol Negara-Bangsa di Desa Badau, Kabupaten Kapuas Hulu, Kalimantan Barat

INTAN PERMATA SARI, Prof. Dr. Irwan Abdullah

2013 | Skripsi | ANTROPOLOGI BUDAYA

Wilayah perbatasan telah menjadi persoalan penting setelah konflik antarnegara membawa akibat bagi identitas penduduk, khususnya dalam kerangka nasionalisme. Sifat mendua dan standar ganda yang dihadapi dalam kehidupan penduduk sehari-hari menyebabkan kerancuan dalam definisi identitas. Penelitian ini menjelaskan bagaimana identitas ganda tersebut dialami dalam kehidupan sehari-hari komunitas perbatasan. Secara historis, masyarakat Badau adalah bagian dari warga Negara Indonesia tetapi secara sosial ekonomi, masyarakat Badau cendrung menjadi bagian dari Negara Malaysia. Infrastuktur yang masih buruk, akses pendidikan dan kesehatan yang masih kurang layak, kesempatan kerja yang terbatas, dan pemenuhan kebutuhan pokok sehari-hari yang masih kesulitan, merupakan fakta keterbatasan kemampuan pemerintah Indonesia di wilayah ini. Ada tiga pertanyaan yang menjadi dasar penelitian ini. Pertama, bagaimana pengaruh ruang tempat tinggal bagi kontestasi identitas budaya pada komunitas perbatasan Indonesia-Malaysia? Kedua, bagaimana pengaruh latar belakang etnis masyarakat terhadap hubungan dua Negara bangsa dalam pembentukan identitas kultural masyarakat perbatasan? Ketiga, bagaimana pengaruh kapital ekonomi dalam proses identifikasi diri yang mempengaruhi identitas budaya komunitas perbatasan? Penelitian ini didasarkan pada teori konstruktivisme Berger dan Burke yang melihat identitas diri manusia perlu dijelaskan melalui relasi-relasi sosial di sekitar ‘aktor’ karena relasi sosial di dalam masyarakat itu membentuk suatu struktur sosial yang berlaku di dalam masyarakat. Untuk menguji pendapat tersebut, digunakan serangkaian teknik pengumpulan data yang bersifat kualitatif, yakni pengamatan terlibat dan wawancara mendalam terhadap sejumlah informan. Penelitian juga didukung dengan data sekunder yang diperoleh dari kecamatan dan kelurahan serta bukubuku pendukung yang kemudian dianalisis secara interpretif. Hasil penelitian memperlihatkan bahwa perebutan identitas di Badau tidak hanya terjadi antara identitas menjadi warga Negara Indonesia ataupun menjadi bagian dari warga Negara Malaysia, tetapi juga antaretnis. Etnis Iban, misalnya, masih berusaha mempertahankan identitasnya sebagai masyarakat Iban, begitu pula dengan etnis Jawa dan Melayu. Ada perebutan simbol-simbol kebudayaan di Badau yang tujuannya untuk menunjukkan eksistensi diri mereka sebagai bagian dari etnis tertentu. Perebutan identitas juga melibatkan pasar global yang pada akhirnya menciptakan dinamika dalam pembentukkan identitas Badau yang kompleks. Dengan demikian, keberadaan Badau sebagai wilayah perbatasan justru bersifat sentral bagi perbincangan identitas yang melibatkan banyak pihak dan untuk sejumlah kepentingan.

Border area has become an interesting issue after the conflict between countries contributed to the making of identity, especially in the frame of nationalism. The ambiguity of character and standard applied in everyday life of the population has created the confusion in the definition of identity. This research explains how the ambiguity is experienced in everyday life of the border community with a specific case of Badau in West Kalimantan. Historically speaking, Badau community is a part of Indonesia. However, in term of socioeconomic, Badau community tends to be a part of Malaysia. Low quality of infrastructure, less access for education and health facilities, limited capacity of labor absorption, and the constrain in fulfilling everyday basic needs have been the facts to state the incapability of the Indonesian government in this area. There are three important questions with regards to this research. First, how does the geographical space influence the contestation of the cultural identity in the border of Indonesia-Malaysia? Second, how does the ethnic background influence the making of cultural identity between the border communities in the two nation-states? Third, how does the economic capital influence the selfidentification process in determining the cultural identity of the border community? This research is based on the constructivist approach initiated by Berger and Burke. According to them, identity has to be explained in social relation around actors as social relation in the society that constitutes the factor in the construction of social structure applied in the society. To examine the above mentioned argument, two main qualitative data collecting methods have been employed; participant observation and in-depth interview to a number of informants. The research is also supported by the secondary data from the district and village offices and the related literatures. Interpretive method is utilized in the analysis of data. The findings of this research show that the contestation of identity in Badau does not only occur in the question of being Indonesian citizen or Malaysian citizen, but also between the ethnic groups. The Iban, for instance, has been protecting their identity as Ibanic, which is also the case to the Javanese and Malays. The contestation of cultural symbols takes place in Badau to identify their existence as a part of a certain ethnic group. The contestation has also involved the global market which at the end creating the dynamics in the construction of the Badau identity. Therefore, the existence of Badau as Border area is vital to the identity discourse where several parties get involved for the sake of their interests.

Kata Kunci : wilayah perbatasan, identitas, etnis, kontestasi, Badau, Kalimantan Barat, Indonesia, Malaysia


    Tidak tersedia file untuk ditampilkan ke publik.