Laporkan Masalah

SANDIWARA KAMPUANG DI SUMATERA BARAT: SUATU TINJAUAN DRAMATURGI ATAS DRAMA POSKOLONIAL

DEDE PRAMAYOZA, Prof. Dr. C. Soebakdi Soemanto, S.U.,

2012 | Tesis | S2 Pengkajian Seni Pertunjukan dan Seni Rupa

Tesis ini membahas tentang sandiwara kampuang, satu teater rakyat yang hidup dalam masyarakat Minangkabau sejak awal dekade 1960-an, yang mulai tumbuh dalam sebuah situasi pasca konflik di Sumatera Barat. Sebagai gejala seni, sandiwara kampuang adalah indikasi modernisme dalam masyarakat Minangkabau. Dalam perkembangannya, sandiwara kampuang adalah hibrida dari berbagai tradisi seni dramatik, dan diproduksi dalam suatu kerangka produksi yang khas dengan berbasis kehidupan masyarakat nagari. Menerapkan metode sejarah lisan, studi pustaka dan elisitasi foto, tesis ini bertujuan untuk menguraikan dramaturgi sandiwara kampuang, yaitu teks pementasan, teks lakon, dan formula-formula yang digunakan dalam penyusunan teks-teks tersebut. Pementasan sandiwara kampuang dinamakan penampilan, terdiri atas dua bagian utama yaitu babak dan selingan, dengan beberapa komponen yaitu drama, tari, musik dan nyanyi, lawak, serta lelang. Komponen utama sandiwara kampuang adalah drama dengan lakon yang dinamakan carito, antara lain berangkat dari kaba Minangkabau, cerita-cerita populer, serta mengambil inspirasi dari tema-tema film. Dalam formulasi dramaturginya, tergabung sifat-sifat dari tradisi lisan dengan tradisi tulisan, yang menghasilkan tegangan antara konsep-konsep ingatan dan hapalan. Ditinjau dari perspektif drama poskolonial, sandiwara kampuang adalah refleksi dari poskolonialitas yang tengah dialami masyarakat pendukungnya. Sebagai strategi artistik, sandiwara kampuang adalah bentuk teater yang hibrid, yang mendapat pengaruh sekaligus merespons tonil, opera melayu, sandiwara, randai, bahkan teater dan film; dengan konsep-konsep yang sinkretik di balik bentuk itu antara lain konsep hiburan, keberlanjutan tradisi, didaktik, dan juga komersial. Sebagai gejala drama poskolonial dalam masyarakat Minangkabau, sandiwara kampuang adalah wahana berdiskursus bagi partisipannya perihal modernitas, komunitas, identitas, refleksifitas, dan strategi budaya. Poskolonialitas masyarakat pendukungnya itu pula yang kemudian menentukan perkembangan dan kemunduran sandiwara kampuang.

This thesis is to discuss sandiwara kampuang, a folk theatre that has been in existence in Minangkabau society since the beginning of 1960s, that was grown within West Sumatera’s post-conflict situation. As an art phenomenon, sandiwara kampuang was an indication of modernism in Minangkabau society. In its development, sandiwara kampuang was hybridation of many dramatic art traditions, and produced within a spesific production framework based on the life of society in nagari. By using oral history method, library research and photo elicitation, the purpose of this thesis is to examine the dramaturgy of sandiwara kampuang, including performance text, play text, and some formulae used in the textual construction. Staging a sandiwara kampuang is called penampilan, consisting of two main sections: babak and selingan, with a number of components, such as drama, tari, musik dan nyanyi, lawak, and lelang. The main component is drama with the play text named as carito, that was built up from kaba Minangkabau, popular story, and also inspired by movie themes. In its dramaturgy formulation, sandiwara kampuang combined oral and written tradition, resulting in a tension between memorizing and learning concept. From the perspective of postcolonial drama, sandiwara kampuang was a reflection of its participant postcoloniality. As an artistic strategy, sandiwara kampuang was a hybrid form of theatre, that was influenced by, and at the same time responded to tonil, opera melayu, sandiwara, randai, also by teater and film; with syncretic concepts behind it including kitch, continuation of tradition, didactics, and also commersialisation. As a postcolonial drama in Minangkabau society, sandiwara kampuang function as discoursive instrument for its participant to discuss about modernity, community, identity, reflexivity, and also cultural strategy. This postcoloniality of its participant was the determinant factor of sandiwara kampuang development and its deterioration.

Kata Kunci : sandiwara kampuang; teater rakyat; masyarakat Minangkabau; dramaturgi; drama poskolonial.


    Tidak tersedia file untuk ditampilkan ke publik.